
Oleh: Andi Marlina Masdjidi, Analis Anggaran Politeknik STIA LAN Makassar
APBN 2026 kembali menjadi sorotan. Ibarat dompet raksasa milik bersama, triliunan rupiah uang rakyat dipertaruhkan untuk membiayai delapan agenda prioritas. Angkanya fantastis, narasinya penuh optimisme.
Namun, di balik gemerlap itu, pertanyaan mendasar menyeruak, apakah uang negara sebesar ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, atau sekadar mempertebal kantong kelompok tertentu yang sudah kenyang?
Ketahanan pangan menjadi prioritas pertama dengan alokasi Rp164,4 triliun. Pemerintah membanggakan stok beras yang menembus rekor 4 juta ton dan kebijakan tanpa impor.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain: harga beras tetap merangkak naik dan menjadi penyumbang inflasi. Akar persoalan bukan sekadar soal stok, melainkan distribusi pupuk bersubsidi yang kacau. Awal 2025 baru 7% yang tersalurkan. Akibatnya, petani tetap terjepit di tengah narasi surplus pangan. Anggaran jumbo bisa berubah jadi kertas kosong bila tata kelola distribusi tak segera dibenahi.
Ketahanan energi menyedot Rp402,4 triliun, sebagian besar untuk subsidi BBM, listrik, dan LPG. Namun, berbagai studi menunjukkan subsidi energi justru lebih banyak dinikmati kelompok mampu. Ironisnya, target energi terbarukan 23% pada 2025 malah direvisi turun menjadi 17 – 19%. Visi Presiden tentang 100% listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam satu dekade terdengar heroik, tetapi tanpa roadmap yang jelas, ini lebih mirip mimpi kampanye ketimbang strategi nasional.