
Oleh: Ferdhiyadi, Dosen Sosiologi UNM
FAJAR.CO.ID — Gelombang protes yang mewarnai akhir Agustus meninggalkan duka mendalam: Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online (ojol), tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Tragedi ini bukan sekadar peristiwa kemanusiaan, tetapi juga mencerminkan perubahan wajah gerakan sosial di Indonesia. Dari jalanan hingga jagat media sosial, tuntutan rakyat kini bergerak lebih cair, cepat, dan sulit dibendung.
Peristiwa tragis ini segera viral di media sosial, memantik solidaritas sesama pengemudi, dan bergulir menjadi amarah publik. Kasus ini bukan sekadar insiden kecelakaan, melainkan penanda bahwa ruang gerakan sosial hari ini telah bergeser: dari kampus, pabrik, dan organisasi politik formal, menuju aplikasi, jalan raya, dan komunitas berbasis algoritma. Ojol, yang sehari-hari bersentuhan dengan wajah kota dan denyut ekonomi digital, muncul sebagai aktor tak terduga dari sebuah gelombang perlawanan baru.
Ojol selama ini kerap dipandang hanya sebagai pekerja transportasi berbasis aplikasi, tanpa ikatan tetap, dengan penghasilan yang tidak menentu. Namun, di balik layar, mereka merepresentasikan wajah kelas pekerja baru—yang hidup dalam dunia kerja fleksibel, rentan, dan sering terpinggirkan. Mereka tidak punya serikat yang mapan, tidak punya jaminan sosial yang kokoh, tetapi justru hadir sebagai simpul dalam protes-protes urban. Tragedi tewasnya Affan menjadi simbol penting—bahwa di balik efisiensi aplikasi, terdapat tubuh-tubuh rapuh yang terus menanggung risiko.