
Bagi Gizmo friends, dalam sebuah video apakah lebih penting kualitas visual atau audio? Bagi saya pribadi, keduanya sih tergolong penting ya. Tetapi untuk jenis konten video tertentu seperti podcast, atau vlog yang mungkin tidak begitu banyak menawarkan sesuatu yang baru, rasanya lebih penting kualitas audio jempolan supaya tidak bosan, atau lebih nyaman mendengarkan jalannya diskusi. DJI Mic 3, hadir sebagai opsi terbaik walaupun dimensinya bikin saya salah sangka.
Oke sedikit pengakuan: awalnya saya sempat mengira kalau DJI Mic 3 hadir sebagai suksesor DJI Mic Mini (karena dimensinya, tentu saja). Lalu saja sempat kaget kalau mikrofon terbaru DJI satu ini, hadir menggantikan DJI Mic 2, yang secara dimensi jauh lebih besar. Rasanya cukup mengesankan di mana DJI bisa membuat semuanya lebih kompak mulai dari transmitter sampai charging case, namun tetap bisa hadirkan peningkatan seperti daya tahan baterai lebih awet.
Mungkin untuk sebagian orang, mikrofon satu ini tergolong overkill. Tapi menurut saya, DJI Mic 3 berpotensi laris di pasaran berkat form factor-nya yang sangat versatile, sehingga pas untuk lebih banyak orang. Mau dipakai kasual atau dikonfigurasikan lebih lanjut untuk produksi lebih serius, juga bisa. Berikut ulasan DJI Mic 3 selengkapnya.
Desain
Dibandingkan generasi sebelumnya, desain DJI Mic 3 dibuat jauh lebih kecil, sangat mendekati versi Mic Mini. Namun, tetap membawa ciri khas seperti permukaan bodi plastik keras di luar yang dibuat sedikit transparan untuk memperlihatkan komponen di dalamnya. Iya, materialnya plastik, tapi terasa cukup solid dan dengan permukaan matte yang jauh dari kesan murah.
Bobot transmitter milik DJI Mic 3 hanya 16 gram saja, sementara receivernya punya dimensi yang rasanya masih kurang lebih sama seperti sebelumnya. DJI menyertakan charging case yang menurut saya sangat praktis dan cerdas—bisa menampung dua transmitter dan receiver (sekaligus otomatis isi daya), punya sambungan USB-C untuk isi semua perangkat di dalamnya, dan mekanisme magnet untuk menyimpan klip di sisi penutup case (plus meletakkan kabel audio tambahan).
Bahkan, rumah untuk masing-masing transmitter dirancang agar kamu bisa meletakkannya meski sedang terpasang klip magnet berbeda, plus windscreen, jadi nggak perlu dicopot dulu agar case bisa tertutup. Dan kembali fokus ke transmitter DJI Mic 3, desainnya pun nggak kalah cerdas—permukaan magnet di belakang membuat kamu bisa menempelkan plat magnet atau klip magnet yang bisa diputar 360 derajat.
Lewat mekanisme tersebut, kamu bisa menempelkannya ke obyek mana pun. Ingin membuat video ASMR saat memasak? Sematkan saja transmitter ke bagian spatula atau pisau. Hobi bikin konten DIY? Bisa ditempelkan ke gunting sembari memotong kertas atau lainnya. Desain DJI Mic 3 yang semakin mungil membuat skenario penggunaannya jauh lebih versatile.
Apakah ada yang dipangkas untuk membuat transmitter DJI Mic 3 menjadi lebih mungil? Ada, yakni tidak lagi punya port 3.5mm yang kemudian bisa disambungkan dengan lavalier. Bagi saya pribadi sih bukanlah sebuah kekurangan berarti, namun mungkin berbeda dengan Gizmo friends yang punya use-case berbeda.
Pengoperasian
Bagi saya yang nggak punya banyak pengalaman mencoba mikrofon kelas wahid, menggunakan DJI Mic 3 tergolong mudah. Istilahnya, kalau mau langsung pakai dengan eksplor sendiri apa yang ditampilkan dari transmitter dan melihat aksesori yang disematkan dalam paket penjualan, bisa-bisa saja. Hanya memang, alangkah baiknya untuk menonton tutorial singkat atau melihat panduan penggunaan terlebih dahulu.
Karena dalam perjalanannya menggunakan DJI Mic 3, saya sempat alami beberapa momen kebingungan. Seperti bagaimana menyambungkan transmitter ke smartphone, dan “kok file suaranya terpisah ya dari tiap transmitter?” Iya, ternyata saya lupa mematikan fitur perekaman stereo saat rekam podcast. Kabar baiknya, banyak sekali video panduan yang dibuat oleh DJI, maupun dari para kreator global lainnya. Dan semuanya sangat-sangat mudah untuk dipahami.
Ketika charging case dibuka, semua perangkat di dalam otomatis aktif, termasuk transmitter yang layarnya langsung menunjukkan tingkat baterai sekaligus durasi penyimpanan pada masing-masing transmitter—ya, DJI Mic 3 memiliki memori penyimpanan 32GB yang bisa rekam file audio 24-bit (single file) sampai lebih dari 57 jam. Memori yang sudah sangat lega, jadi nggak perlu terlalu sering memindahkan hasil rekaman ke penyimpanan lain.
Angkat masing-masing perangkat, dan secara otomatis standby, siap untuk diaktifkan. Pada masing-masing transmitter, juga ada tombol power untuk memulai/hentikan perekaman sampai mengaktifkan noise cancelling, serta tombol link khusus. Yang lebih penting, tentu receiver DJI Mic 3. Di sisi atas, terdapat sebuah layar kecil dengan panel OLED yang punya input sentuh.
Walaupun terlihat sangat kecil, DJI menyajikan tampilan antarmuka dan gestur yang membuat saya bisa mengoperasikan fiturnya secara mudah menggunakan jari—atau juga bisa terbantu dengan tombol dial di sebelah kanannya. Mulai dari pemilihan kualitas audio, mengaktifkan opsi lossless hingga lainnya.
Fitur
Bagian ini menurut saya bisa menjadi salah satu justifikasi utama mengapa harga DJI Mic 3 relatif mahal, atau bisa dianggap sebagai mikrofon nirkabel kelas flagship. Karena setelah dilihat satu persatu dari fitur yang ditawarkan, benar-benar komplit dan cocok untuk penggunaan tingkat profesional. Mulai dari kustomisasi sampai kualitas audio yang bisa didapat.
Mungkin membahas tiga fitur baru DJI Mic 3 yang paling berguna bagi saya dan rasanya banyak pengguna mainstream; Adaptive Gain Control, voice tone presets, dan noise cancelling. Yang terakhir tentu sudah umum didengar ya, di mana DJI Mic 3 bisa kasih dua opsi tingkatan berbeda. Untuk voice tone presets, kamu bisa set ke “Rich” untuk output suara yang terdengar lebih berat/nge-bass sedikit, atau “Bright” yang lebih mengedepankan clarity. Fitur yang memudahkan, nggak perlu edit secara manual.
Nah, untuk Adaptive Gain Control, bisa mencegah hasil perekaman audio jadi kurang seimbang kalau ada sumber suara yang tiba-tiba kencang (mungkin dalam situasi seperti suasana luar ruangan). Ada dua mode yang bisa dipilih, yakni Automatic yang pas digunakan di hampir semua skenario, atau Dynamic yang pas untuk latar indoor pada sebuah studio misalnya.
Selain tiga fitur di atas, tentu ada opsi untuk rekam suara dalam format mono atau stereo. Juga ada opsi “dual track” yang memungkinkan DJI Mic 3 untuk hasilkan dua output berbeda—versi yang lebih raw, dan yang sudah ditingkatkan dengan opsi voice enhancement pilihan di atas. Selain opsi 24-bit, juga ada alternatif 32-bit float internal recording dengan dynamic range lebih lebar, tentunya dengan ukuran file lebih besar. Plus dukungan Timecode untuk mempermudah proses edit pada skenario perekaman dengan lebih dari satu kamera.
Konektivitas
Oh ya, satu receiver DJI Mic 3 bisa tersambung ke empat transmitter berbeda, dan kamu bisa sambungkan hingga delapan receiver sekaligus untuk skala produksi lebih besar. DJI mengklaim jarak antara transmitter dan receiver mendukung hingga 400 meter, dan dengan kualitas sambungan nirkabel lebih kuat dibandingkan generasi sebelumnya, secara otomatis berpindah frekuensi antara 2.4GHz dan 5GHz. Jadi tetap aman digunakan di skenario keramaian dengan banyak halangan sekalipun.
Nah, cara menyambungkan DJI Mic 3 dengan banyak perangkat juga mudah. Ke sesama perangkat DJI seperti kamera Osmo, bisa langsung ke transmitter berkat ekosistem OsmoAudio. Langsung ke smartphone? Bisa juga, memanfaatkan Bluetooth dan aplikasi DJI Mimo, namun kompabilitas smartphone mungkin lebih terbatas.
Kamu juga bisa sambungkan receiver DJI Mic 3 ke smartphone menggunakan adapter USB-C yang sudah disematkan ke dalam charging case—bisa disambungkan ke receiver dengan membuka kunci bagian bawah terlebih dahulu, sesuatu yang baru saya temukan caranya setelah menonton panduan singkat. DJI juga sediakan adapter Lightning untuk seri iPhone lebih lawas, namun dijual terpisah.
Mau sambungkan ke kamera konvensional? Tentu bisa juga, menggunakan kabel 3.5mm TRS yang sudah disediakan ke dalam paket penjualan. Opsinya benar-benar lengkap, baik ke sesama perangkat DJI, smartphone, laptop, tablet, hingga DSLR.
Kualitas Audio
Tentu saja, performa DJI Mic 3 dalam merekam suara terbilang sangat baik. Baik ketika digunakan untuk merekam podcast sampai suara lain seperti sebuah konser musik, bisa berikan hasil rekaman yang saya inginkan. Sangat menyenangkan ketika saya bisa hasilkan kualitas audio terbaik dalam perangkat semungil ini.
Memang tidak apple-to-apple, tapi kalau saya bandingkan dengan mikrofon yang sudah sering tim Gizmologi gunakan yakni Hollyland Lark M2, DJI Mic 3 bisa rekam audio dengan tingkat kejernihan lebih tinggi. Dan saat sedang rekam sura di area yang sedikit ramai seperti kedai kopi, noise cancelling tidak mengganggu suara narasumber—aman dari situasi di mana kebanyakan noise cancelling mencoba meredam keramaian yang akhirnya membuat suara utama juga ikut “tenggelam”.
Semua fitur pendukungnya seperti Adaptive Gain Control hingga preset suara membuat kamu bisa hasilkan file audio yang terjaga meski skenario perekamannya lebih menantang—risiko-risiko seperti suara terlalu keras di tengah-tengah sesi rekaman, atau noise yang tiba-tiba muncul, bisa sangat diredam. Saya sendiri sudah sangat puas dengan hasil rekaman 24-bitnya. Dan tentu potensi DJI Mic 3 bisa sangat terbuka ketika memanfaatkan opsi lainnya seperti lossless audio.
Baterai
Walaupun dimensinya tergolong sangat kecil dengan semua komponen kelas flagship di dalamnya, daya tahan baterai DJI Mic 3 sudah tergolong impresif, dan lebih awet dari generasi sebelumnya. Padahal saya sudah bersiap kalau memang waktu pemakaiannya lebih sebentar ketimbang generasi sebelumnya yang memang secara fisik lebih besar. Nyatanya, masih bisa dibuat lebih lama untuk sekali pemakaian kontinyu.
Klaim dari DJI, baterai DJI Mic 3 yang berkapasitas 137 mAh pada transmitter, bisa digunakan hingga 8 jam non-stop. Sementara receivernya bisa sampai 10 jam, dan bila dikombinasikan bersama charging case, disebut bisa menambah masa pakai ketiga perangkat hingga 2,4 kali. Artinya, bisa sampai mendekati 30 jam. Udah cukup banget untuk kebutuhan produksi podcast tim Gizmologi yang setiap harinya perlu 1-2 jam waktu perekaman.
Untuk membuat daya baterainya lebih awet, ada fitur seperti auto power-saving yang otomatis membuat status receiver dan transmitter ke mode sleep saat tidak digunakan, dan auto power-off yang bisa membuat keduanya otomatis mati setelahnya. Ketika diletakkan ke charging case selama 5 menit, baterai DJI Mic 3 langsung sanggup digunakan untuk dua jam perekaman. Membuatnya sangat pas untuk kreator yang paling sibuk sekalipun—meski memang belum seirit DJI Mic Mini (hingga 11 jam secara kontinyu).
Kesimpulan
Lebih kecil, lebih tahan lama, lebih versatile, lebih mudah untuk hasilkan rekaman audio berkualitas. DJI Mic 3 benar-benar mampu membawa sejumlah peningkatan tanpa kompromi, selain absennya jack audio pada masing-masing transmitter. Semua hadir dalam sebuah case ringkas yang mudah di bawa ke mana saja, dan transmitter yang bisa disematkan pada jenis obyek apa saja.
Bila memang Gizmo friends memiliki bujet yang cukup, saya sangat menyarankan untuk bisa mendapatkan mikrofon terbaik DJI satu ini. Meski hanya berniat untuk membuat konten vlog sederhana, misalnya, ketika dipadukan dengan kualitas audio terbaik, tentu akan menarik viewers. Terutama untuk jenis konten yang bisa “dikonsumsi” tanpa visual seperti podcast, akan lebih memanjakan telinga saat didengarkan audio-only.
Artikel berjudul Review DJI Mic 3: Mikrofon Nirkabel Kelas Flagship dalam Bodi Mungil yang ditulis oleh Prasetyo Herfianto pertama kali tampil di Gizmologi.id