
Jakarta, Gizmologi – Konflik antara produsen drone asal Tiongkok, DJI, dengan pemerintah Amerika Serikat kembali memanas. Perusahaan yang dikenal sebagai salah satu pembuat drone komersial terbesar di dunia itu gagal dalam upaya hukum untuk keluar dari daftar “Chinese military companies” milik Departemen Pertahanan AS (DoD). Keputusan ini menambah tekanan bagi DJI yang selama dua tahun terakhir terus menghadapi tuduhan terkait potensi keterlibatan dalam kepentingan militer Beijing.
Hakim Distrik Paul Friedman menyatakan bahwa DoD memiliki bukti substansial bahwa teknologi DJI berkontribusi pada basis industri pertahanan Tiongkok. Dalam putusannya, Friedman menekankan penggunaan drone DJI yang telah dimodifikasi di medan perang Rusia-Ukraina sebagai contoh nyata bahwa teknologi tersebut dapat dimanfaatkan dalam konteks militer.
Meski begitu, hakim juga menolak sebagian alasan tambahan yang diajukan DoD. Keputusan ini menunjukkan bahwa meskipun tidak semua argumen pemerintah diterima, bukti keterkaitan DJI dengan aplikasi militer dianggap cukup kuat untuk mempertahankan perusahaan tetap berada dalam daftar hitam tersebut.
Implikasi bagi DJI dan Pasar Global
DJI sebelumnya berulang kali membantah tuduhan bahwa mereka dimiliki atau dikendalikan oleh militer Tiongkok. Perusahaan menegaskan bahwa produknya ditujukan untuk konsumen dan penggunaan komersial, bukan militer. Dalam gugatan yang diajukan tahun lalu, DJI mengklaim telah mengalami kerugian finansial dan reputasi yang signifikan sejak masuk ke dalam daftar DoD pada 2022, termasuk kehilangan peluang bisnis di pasar global.
Daftar hitam semacam ini memang memiliki konsekuensi serius. Masuknya DJI dalam daftar DoD menambah panjang daftar lembaga AS yang membatasi ruang gerak perusahaan, setelah sebelumnya Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan mengambil langkah serupa. Dampaknya tidak hanya berupa hambatan bisnis di AS, tapi juga bisa memengaruhi persepsi investor dan konsumen di pasar internasional.
Sebagai respon, perusahaan menyatakan tengah mempertimbangkan opsi hukum lanjutan. Dalam pernyataan yang disampaikan ke Reuters, perusahaan menilai keputusan hakim “hanya berdasar pada satu alasan yang sebenarnya juga berlaku untuk banyak perusahaan lain yang tidak masuk daftar hitam.” Argumentasi ini menunjukkan upaya DJI untuk menegaskan bahwa kebijakan AS bersifat diskriminatif dan berlebihan.
Potensi Larangan Penjualan di AS
Selain putusan pengadilan ini juga menghadapi tantangan baru berupa potensi larangan penjualan produknya di AS. Regulasi yang tengah digodok berpotensi menghentikan distribusi drone DJI mulai Desember mendatang, kecuali lembaga keamanan nasional AS memutuskan bahwa produk mereka tidak menimbulkan risiko bagi keamanan nasional.
Jika larangan ini diberlakukan, dampaknya bisa signifikan. Pasar AS merupakan salah satu konsumen terbesar untuk drone komersial, termasuk bagi kalangan hobi, fotografer profesional, hingga sektor industri seperti pertanian dan konstruksi. Kehilangan akses ke pasar ini tentu akan menjadi pukulan besar bagi bisnis DJI.
Di sisi lain, langkah AS juga berpotensi membuka peluang bagi produsen drone lokal maupun kompetitor dari negara lain. Namun, pertanyaannya adalah apakah mereka mampu dengan cepat mengisi celah pasar yang selama ini didominasinya, mengingat perusahaan asal Tiongkok itu dikenal unggul dalam inovasi, harga, dan distribusi global.
Artikel berjudul Hakim Federal Tolak Upaya DJI Keluar dari Daftar Perusahaan Militer Tiongkok yang ditulis oleh Christopher Louis pertama kali tampil di Gizmologi.id