CEO OpenAI Terkejut Banyak Pengguna Terlalu Percaya ChatGPT yang Sering Salah

 CEO OpenAI, Sam Altman, mengaku terkejut karena banyak orang terlalu percaya pada ChatGPT, padahal teknologi ini belum sempurna dan masih sering memberi jawaban yang keliru.

“Orang-orang sangat percaya pada ChatGPT, dan itu menarik, karena AI ini bisa halu. Seharusnya ini bukan teknologi yang kamu percaya sepenuhnya,” ujar Altman dalam podcast perdana OpenAI, dikutip dari Yahoo Finance (25 Juni 2025).

Pernyataan ini muncul di tengah ledakan penggunaan AI di seluruh dunia. Meski ChatGPT belum 100% akurat, jutaan orang sudah mengandalkannya untuk riset, kerja, bahkan nasihat pribadi dan parenting. Altman sendiri pernah memakai ChatGPT saat mencari informasi tentang pengasuhan anak setelah kelahiran putranya. Dia mengaku terbantu, tapi tetap mengingatkan bahwa sistem ini bisa sangat meyakinkan walau salah.

Sekilas Info

Baca juga: Pengguna ChatGPT di Indonesia Tumbuh 3 Kali Lipat, OpenAI: Sudah Kecanduan!


Banyak yang Mengira ChatGPT Seperti Ahli atau Teman Dekat

ChatGPT memang nyaman digunakan—cepat, ramah, dan bisa mengingat konteks. Tapi justru karena itulah, banyak orang menganggapnya seperti pakar sungguhan, bahkan teman ngobrol. Inilah yang menurut Altman berbahaya. Apalagi jika dipakai di bidang sensitif seperti kesehatan, hukum, atau pendidikan. Salah-salah, bisa menyesatkan.

Altman menekankan pentingnya pengguna tetap berpikir kritis. AI bisa membantu, tapi jangan dijadikan satu-satunya sumber kebenaran. Dia juga mengingatkan tentang isu lain seperti privasi data dan rencana OpenAI untuk menambahkan fitur memori jangka panjang dan iklan di masa depan. Menurutnya, transparansi dan perlindungan data pengguna harus tetap jadi prioritas utama.

Studi MIT: ChatGPT Bikin Makin Malas dan Turunkan Kemampuan Otak

Sebuah studi dari MIT Media Lab memperkuat kekhawatiran ini. Penelitian yang melibatkan 54 orang berusia 18–39 tahun menunjukkan bahwa penggunaan ChatGPT bisa menurunkan keterlibatan otak dan kemampuan berpikir kritis.

Peserta dibagi menjadi tiga kelompok: yang menggunakan ChatGPT, Google, dan tanpa bantuan teknologi. Hasilnya? Mereka yang menggunakan ChatGPT menunjukkan aktivitas otak paling rendah. Mereka juga lebih malas menulis, cenderung menyalin mentah-mentah hasil ChatGPT, dan menghasilkan tulisan yang mirip satu sama lain—datar, tanpa pemikiran orisinal.

Sebaliknya, kelompok yang menulis tanpa bantuan teknologi justru menunjukkan otak yang paling aktif dan hasil tulisan yang lebih kreatif. Bahkan saat mencoba menulis ulang, kelompok pengguna ChatGPT kesulitan mengingat apa yang pernah mereka tulis.

Nataliya Kosmyna, peneliti utama studi ini, sengaja mempublikasikan hasilnya lebih cepat meski belum peer-reviewed karena khawatir AI akan mulai digunakan di pendidikan anak usia dini. “Kalau ChatGPT sampai dipakai untuk anak TK, itu bisa sangat berbahaya,” tegasnya.

Baca juga: Proyek Rahasia OpenAI dan Jony Ive: Perangkat AI Pintar, Tapi Bukan Wearable


Kesimpulan: AI Boleh Dipakai, Tapi Tetap Harus Pakai Akal

ChatGPT dan AI lain memang bisa jadi alat bantu yang hebat. Tapi, seperti yang dikatakan Altman dan dibuktikan studi MIT, kita tetap harus waspada. Jangan mudah percaya, jangan jadikan AI sebagai satu-satunya sumber jawaban, dan selalu gunakan kemampuan berpikir sendiri.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(dwk)

Sekilas Info