Toko Online di Indonesia Bakal Kena Pajak Otomatis? Ini Penjelasannya!

 Kamu mungkin salah satu dari ribuan pelaku bisnis online yang bangun pagi dengan notifikasi orderan dari Shopee atau Tokopedia. Tapi mulai tahun depan, ada notifikasi baru yang akan muncul di dashboard penjualanmu: pemotongan pajak secara otomatis oleh platform marketplace.

Berdasarkan laporan Kompas Tekno, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan memberlakukan sistem pemotongan pajak langsung oleh marketplace untuk transaksi di atas Rp1 juta per bulan. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya negara untuk menjaring lebih banyak pelaku ekonomi digital ke dalam sistem perpajakan.

Tidak Semua Toko Akan Terkena

Sistem baru ini dirancang dengan beberapa ketentuan khusus. Pertama, hanya toko dengan omset di atas Rp1 juta per bulan yang akan dikenakan pemotongan pajak sebesar 0,5% dari nilai transaksi. Kedua, pemotongan hanya berlaku untuk transaksi barang, bukan jasa. Ketiga, marketplace bertanggung jawab menyetorkan pajak tersebut langsung ke negara.

Sekilas Info

“Kebijakan ini sebenarnya sudah ada dasarnya di PMK-210/2018, tapi sekarang akan diimplementasikan lebih ketat dengan bantuan teknologi,” jelas Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan yang kini menjadi pengamat ekonomi digital.

Baca juga: Gratis Ongkir Dibatasi? Ini Penjelasan Pemerintah soal Aturan Baru Permen Komdigi

Dampak bagi Pelaku UMKM

Bagi pelaku usaha mikro, kebijakan ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ini memudahkan proses administrasi pajak yang selama ini sering dianggap rumit. Di sisi lain, margin tipis yang menjadi ciri khas usaha kecil bisa semakin terjepit.

“Untuk usaha yang omsetnya pas-pasan di atas Rp1 juta, potongan 0,5% bisa berarti berkurangnya modal untuk stok berikutnya,” keluh Dina, pemilik toko hijab online yang sudah berjualan selama 3 tahun.

Namun, beberapa pengusaha justru melihat sisi positifnya. “Dengan begini, kita dapat bukti potong pajak yang bisa digunakan untuk mengajukan kredit UMKM,” kata Rudi, penjual aksesoris di Bukalapak.

Persiapan yang Perlu Dilakukan Pelaku Usaha

Untuk menavigasi dampak kebijakan baru, ada beberapa langkah sederhana tapi berdampak besar yang bisa segera diterapkan pelaku usaha. Mulailah dengan memisahkan rekening bisnis dan pribadi agar pencatatan arus kas lebih terstruktur dan akurat.

Selanjutnya, catat transaksi secara rutin, bahkan dengan aplikasi akuntansi sederhana agar data selalu siap saat dibutuhkan. Pahami dasar perpajakan, terutama beda antara PPN dan pajak penghasilan, agar tidak salah melaporkan. Lalu, optimalkan biaya operasional agar bisnis tetap efisien walau ada potongan pajak.

Jika omzet mendekati batas Rp1 juta, mungkin saatnya merumuskan strategi baru. Seperti yang disarankan pakar ekonomi UI, fokuslah pada peningkatan nilai produk daripada sekadar memperbesar volume penjualan.

Dari Platform Jualan Menjadi Agen Pajak

Perubahan regulasi perpajakan turut menggoyang sistem operasional marketplace yang selama ini berjalan otomatis dan masif. Mereka kini dituntut untuk mampu mengidentifikasi toko mana yang sudah memenuhi ambang batas kewajiban pajak digital.

Selain itu, sistem perlu diperbarui agar bisa menghitung serta memotong pajak secara instan saat transaksi terjadi. Tidak berhenti di situ, bukti potong harus langsung diterbitkan dalam format elektronik sebagai dokumentasi legal.

Semua data tersebut juga wajib dilaporkan secara berkala ke Direktorat Jenderal Pajak melalui kanal resmi. Menanggapi tantangan ini, Shopee menyatakan sedang menyiapkan fitur dashboard penjual yang bisa melacak kewajiban pajak dengan lebih transparan dan praktis bagi pelaku UMKM.

Perbandingan dengan Negara Lain

Jika dilihat secara global, kebijakan pajak e-commerce Indonesia tergolong ramah, terutama bila dibandingkan dengan negara maju. Inggris menetapkan VAT sebesar 20% untuk semua transaksi digital tanpa pandang bulu. Di Australia, GST 10% dikenakan meskipun omset pelaku usaha masih sangat kecil.

Bahkan India menerapkan ambang batas pajak e-commerce yang jauh lebih rendah, yakni sekitar Rp200 ribu per bulan. Meski lebih ringan, tantangan Indonesia justru terletak pada pelaksanaan kebijakan agar tidak merugikan pelaku usaha kecil. Transparansi sistem serta pengawasan agar tidak disalahgunakan menjadi kunci agar kebijakan ini terasa adil dan tidak mematikan UMKM di tengah derasnya arus digitalisasi.

Langkah Awal Menuju Ekosistem Digital yang Lebih Adil

Kebijakan ini sebenarnya bagian dari tren global untuk menciptakan level playing field antara bisnis offline dan online. Selama ini, banyak toko fisik mengeluh harus membayar pajak sementara pesaing online mereka bebas tanpa pemantauan.

“Ini bukan tentang memungut pajak lebih banyak, tapi tentang keadilan dan transparansi,” jelas Menteri Keuangan dalam konferensi pers terakhirnya.

Dunia digital terus berkembang, dan aturan mainnya pun harus menyesuaikan. Sebagai pelaku usaha, kamu punya dua pilihan: mengeluh tentang kebijakan baru ini, atau memanfaatkannya sebagai momentum untuk membenahi administrasi bisnismu.

Bagaimanapun, bisnis yang baik adalah bisnis yang berjalan sesuai aturan. Daripada melihat ini sebagai beban, mungkin ini saatnya kamu mulai memikirkan strategi baru untuk meningkatkan nilai jual produkmu, bukan sekadar mengandalkan volume transaksi.

Pertanyaannya sekarang: sudah siapkah tokomu menghadapi era baru perdagangan digital yang lebih transparan ini?

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(ipeps)

Sekilas Info