Buronan Rp 243 Miliar, Warga China Dituduh Selundupkan Teknologi Senjata AS ke Iran

 Di balik layar konflik geopolitik dunia, sebuah jaringan perdagangan gelap berhasil menyita perhatian global. FBI, badan investigasi federal Amerika Serikat, resmi menetapkan warga negara China bernama Baoxia “Emily” Liu sebagai buron internasional. Pemerintah AS bahkan menawarkan hadiah sebesar USD 15 juta (sekitar Rp 243 miliar) bagi siapa pun yang dapat memberikan informasi keberadaan Liu.

Baca juga: Ilmuwan China Berhasil Bikin Jantung Manusia Berdetak di Embrio Babi

Nama Liu kini bukan sekadar catatan hukum biasa. Ia dituduh sebagai otak di balik operasi penyelundupan teknologi militer Amerika ke Iran, negara yang sejak lama berseberangan dengan kepentingan AS dan sekutunya. Bersama tiga orang lainnya, Liu membangun jaringan yang diduga sudah beroperasi selama hampir dua dekade, dan kini terbongkar.

Jaringan Licik di Balik Teknologi Canggih

Kasus ini terungkap setelah penyelidikan Departemen Kehakiman AS dan Departemen Luar Negeri, yang menetapkan Liu dan tiga rekannya sebagai terdakwa pada Januari 2024. Mereka antara lain Li Yongxin (alias Emma Lee), Yung Yiu Wa (alias Stephen Yung), dan Zhong Yanlai (alias Sydney Chung).

Kelompok ini disebut menggunakan perusahaan cangkang di China dan Hong Kong untuk menyamarkan aliran komponen elektronik dari AS. Tujuan akhirnya bukan sekadar komersial, melainkan militer, akan dikirim ke Iran untuk mendukung pembuatan drone tempur, rudal balistik, dan berbagai teknologi senjata lainnya.

Barang-barang canggih yang diproduksi di AS awalnya disamarkan seolah-olah akan digunakan di China. Namun pada kenyataannya, teknologi tersebut dikirim ke perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) dan Kementerian Pertahanan Iran (MODAFL). Ini melanggar sanksi perdagangan internasional yang ketat dan UU ekspor AS.

Iran, Teknologi Amerika, dan Ancaman Global

Iran memang sedang giat-giatnya memperkuat sistem pertahanannya. Negara tersebut selama ini berada di bawah embargo internasional akibat program nuklirnya yang kontroversial. Namun, seperti kasus Liu menunjukkan, sanksi tidak menghentikan ambisi dan mereka hanya membuat jalur distribusi jadi lebih tersembunyi dan kompleks.

Sekilas Info

IRGC dikenal sebagai kekuatan militer yang sangat agresif dalam membangun senjata canggih. Teknologi yang diperoleh secara ilegal dari luar negeri menjadi bahan bakar utama pengembangan drone, misil, dan sistem pengawasan yang kini menjadi bagian penting dalam konflik di Timur Tengah.

Amerika Serikat menilai bahwa teknologi hasil curian ini berkontribusi langsung pada ketidakstabilan kawasan, apalagi ketika produk Iran tersebut dipasok ke negara-negara lain seperti Rusia, Yaman, dan Sudan. Ini bukan sekadar isu perdagangan, tapi soal keamanan nasional dan perimbangan kekuatan dunia.

Penggunaan Perusahaan Boneka dan Penipuan Terstruktur

Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS, para terdakwa mengandalkan strategi penipuan sistematis untuk mendapatkan teknologi dari perusahaan-perusahaan Amerika. Dengan menggunakan perusahaan-perusahaan boneka, mereka menipu eksportir bahwa barang tersebut akan dipakai di China, padahal kenyataannya ditransfer ke Iran.

Kebanyakan perusahaan AS ini tidak sadar telah menjadi bagian dari jaringan ilegal, karena semua prosedur tampak legal di permukaan. Namun begitu ditelusuri lebih dalam, terlihat jelas bahwa pengiriman barang berteknologi tinggi ini mengarah ke zona berbahaya secara politis dan militer.

Barang-barang yang diekspor meliputi sensor, microchip, perangkat komunikasi, dan komponen drone. Barang-barang ini memiliki nilai strategis tinggi karena bisa digunakan dalam sistem persenjataan modern.

Meningkatnya Kekhawatiran Barat

Para analis keamanan menilai bahwa kasus Baoxia Liu adalah simbol dari tantangan baru dalam dunia globalisasi digital dan perdagangan internasional. Di satu sisi, pertukaran teknologi mempercepat inovasi dan pertumbuhan. Tapi di sisi lain, ketika jatuh ke tangan yang salah, inovasi bisa menjadi alat penghancur.

Dengan perkembangan kecerdasan buatan, drone otonom, dan senjata siber, ancaman tidak lagi datang dari peluru saja. Perangkat sekecil chip bisa menjadi pemicu konflik. Kasus Liu menyadarkan publik bahwa pengawasan terhadap ekspor teknologi harus ditingkatkan.

Baca juga: China dan Rusia Kolaborasi Bangun PLTN di Bulan, Target Selesai 2036

Saat Perdagangan Jadi Medan Pertempuran Baru

Kisah Baoxia Liu bukan hanya soal satu orang yang menyalahi hukum, tetapi tentang bagaimana perdagangan teknologi kini menjadi medan baru pertempuran geopolitik. Di era digital ini, setiap barang yang kita anggap remeh, seperti chip, sensor, atau konektor yang bisa menjadi bagian dari sistem senjata negara yang sedang berseteru dengan dunia.

Jika dunia tidak meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam rantai pasok teknologi, maka lebih banyak “Liu-Liu” lainnya akan muncul dari balik bayang-bayang, membawa konsekuensi global yang jauh lebih besar daripada sekadar pelanggaran hukum biasa.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(mo)

Sekilas Info