Kabarnya, Meta akan menggelontorkan dana fantastis sebesar USD 15 miliar atau sekitar Rp 244 triliun untuk mengembangkan proyek AI mutakhir bernama Superintelligence. Proyek ini bukan main-main, karena bertujuan menciptakan AI yang tak hanya meniru, tapi bahkan melampaui kecerdasan manusia.
Langkah besar ini juga akan dibarengi dengan akuisisi 49 persen saham dari startup AI berbasis di AS, Scale AI, yang didirikan oleh Alexandr Wang dan Lucy Guo. Salah satu pendirinya, Wang, bahkan dikabarkan akan bergabung dengan Meta dalam posisi senior. Artinya, akuisisi ini bukan sekadar investasi pasif, melainkan bentuk kemitraan strategis jangka panjang yang bisa mengubah arah teknologi Meta ke depan.
Apa Itu Superintelligence?
Untuk memahami mengapa proyek ini terdengar begitu ambisius, kita perlu menyelami lebih dalam tentang apa itu Superintelligence.
Dalam dunia AI, terdapat tiga tingkat kecerdasan buatan:
-
Artificial Narrow Intelligence (ANI) – atau AI lemah, yang hanya mampu mengerjakan tugas tertentu seperti Google Translate, Siri, atau rekomendasi konten.
Sekilas Info -
Artificial General Intelligence (AGI) – AI yang mampu berpikir dan belajar layaknya manusia, bisa menyelesaikan banyak tugas berbeda dengan cara adaptif.
-
Artificial Superintelligence (ASI) – adalah puncak dari AI, di mana kecerdasan buatan ini bukan hanya mampu menyamai manusia, tapi melampauinya. Ia akan memiliki kemampuan berpikir, belajar, memahami konteks, dan bahkan kesadaran untuk mengambil keputusan mandiri tanpa instruksi manusia.
Superintelligence belum pernah tercipta dan masih menjadi ranah spekulatif. Namun potensi dan tantangannya sangat besar. Jika berhasil, Superintelligence bisa menjadi teknologi paling berpengaruh sepanjang sejarah peradaban manusia tapi juga yang paling berisiko, terutama dari sisi etika dan kontrol.
Langkah Meta: Ambisi, Risiko, dan Harapan
Langkah Meta dalam proyek Superintelligence ini dilihat sebagai respons terhadap ketertinggalannya dalam persaingan AI global. Saat Google melaju kencang dengan Gemini, dan OpenAI menguasai pasar dengan ChatGPT, Meta sebelumnya sibuk mengejar mimpi Metaverse yang ternyata tak membuahkan hasil.
Metaverse, dunia digital virtual berbasis VR dan AR yang dipromosikan habis-habisan oleh Mark Zuckerberg, gagal mendapatkan traksi di pasar. Investasi besar-besaran yang dilakukan Meta pada proyek ini sempat menjadi bahan olok-olok karena hasilnya dianggap jauh dari ekspektasi.
Kini, fokus Meta beralih. Sejak mendirikan laboratorium riset AI pertama mereka pada 2013, yaitu pasca gagal mengakuisisi DeepMind yang kini menjadi tulang punggung AI Google, Meta sebenarnya tak pernah benar-benar absen dari arena AI. Bahkan, pada awal 2025, mereka sudah menyiapkan dana USD 65 miliar (Rp 1.050 triliun) hanya untuk membangun infrastruktur AI, termasuk chip, pusat data, dan tenaga ahli.
Superintelligence: Harapan Baru atau Bom Waktu?
Banyak pihak memuji langkah Meta sebagai bukti komitmen dalam membangun masa depan teknologi. Namun di sisi lain, muncul pula kekhawatiran soal etika, privasi, dan potensi penyalahgunaan AI tingkat tinggi.
Apalagi dalam upaya menciptakan Superintelligence, Meta tidak hanya mengandalkan software. Mereka juga mengumpulkan miliaran data, melatih model bahasa besar seperti Llama, dan kini mengakuisisi perusahaan pelabel data seperti Scale AI. Kombinasi ini memperlihatkan betapa seriusnya Meta dalam mempersiapkan lompatan kuantum dalam AI.
Namun tantangan teknis dan etis tetap membayangi. Belum ada konsensus global mengenai batas dan kontrol terhadap AI supercerdas. Bahkan beberapa ilmuwan terkemuka menyebut bahwa keberadaan AI dengan kesadaran sendiri bisa jadi pedang bermata dua yang mempermudah hidup manusia, atau justru menggantikan manusia.
Baca juga: Meta Cari Ahli AI, Zuckerberg Tawarkan Gaji Fantastis hingga Rp 13 Miliar per Bulan
Dengan Superintelligence, Meta seperti sedang menggandakan taruhan setelah kekalahan di meja Metaverse. Kali ini, taruhannya lebih besar, lebih ambisius, dan lebih kompleks.
Apakah mereka akan berhasil menciptakan AI yang bukan sekadar cerdas, tapi juga sadar dan unggul dari manusia? Atau ini hanya akan menjadi satu lagi proyek mahal yang kandas di tengah jalan?
Yang pasti, dunia kini menonton karena masa depan AI tak lagi hanya soal teknologi, tapi juga soal arah evolusi peradaban.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
