Melihat Aura Farming Pacu Jalur Sebagai Tradisi Lokal yang Viral di Tengah Dunia Digital

Gizmologi Asus GU605 Tech Media Banner INTEL

Jakarta, Gizmologi – Belakangan ini memang sudah sangat marak konten digital yang serba dibuat oleh AI, tren “aura farming” dari Pacu Jalur justru mencuri perhatian dunia. Nah, munculnya tren ini bukan dari sebuah kampanye yang sudah direncanakan oleh sebuah organisasi besar, tetapi tren ini justru datang dari adat dan budaya Indonesia. Momen sederhana anak kecil berdiri di ujung perahu tradisional sambil menatap lurus ke depan, seolah jadi pusat gravitasi seluruh perlombaan.

Fenomena ini muncul dari tradisi tahunan di Kuantan Singingi, Riau, yaitu lomba perahu Pacu Jalur. Biasanya hanya dikenal di lingkup lokal.  Kemudian,  dalam beberapa pekan terakhir acara Pacu Jalur ini berhasil menjadi bahan pembicaraan global. Semua berawal dari cuplikan video di media sosial yang memperlihatkan seorang “anak perahu” dengan ekspresi serius dan gerakan perlahan, seakan sedang memaksimalkan aura untuk memberi semangat ke para pendayung di belakangnya.

Sekilas Info

Tanpa efek khusus, tanpa suara narasi, tapi justru berhasil membuat orang-orang terpaku. Banyak yang menyebutnya sebagai momen “aura farming”. Istilah dari dunia game dan internet yang merujuk pada upaya mengumpulkan energi karisma atau gaya secara sengaja untuk menunjukkan dominasi. Lucunya, istilah itu jadi sangat cocok untuk menggambarkan aksi sang anak.

Baca Juga: Google Veo 3 Kini Tersedia di Indonesia, Berikan Pengalaman AI Text-to-Video Lebih Mudah

Viral Berkat Karisma Asli, Bukan Algoritma

Pacu Jalur 001
Sumber: Riau.Suara.com

Salah satu yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana sesuatu yang organik dan sederhana bisa menyusup masuk ke arus utama internet, bahkan ke radar akun-akun global. Dari TikTok, Instagram Reels, sampai beberapa cuitan di X (Twitter), video aura farming ini ramai diperbincangkan. Banyak netizen dari luar negeri yang awalnya gak tahu apa-apa tentang Pacu Jalur, akhirnya ikut kagum dan terhibur.

Komentar-komentar di media sosial pun beragam. Ada yang bilang ekspresi sang anak bikin perahu nambah kecepatan. Ada juga yang menyamakan gesturnya dengan karakter anime atau bos terakhir di video game. Bahkan media luar seperti BroBible dan akun-akun olahraga internasional mulai mengangkat konten ini sebagai bentuk “peak performance” tanpa kata-kata.

Semuanya jadi bukti bahwa konten autentik tetap punya tempat di era digital. Momen-momen jujur yang gak dirancang buat viral justru punya peluang besar untuk jadi sorotan, selama punya daya tarik emosional yang kuat. Dan dalam kasus Pacu Jalur ini, daya tarik itu datang dari ekspresi tenang dan karisma alami seorang anak di ujung perahu.

Tradisi yang Menyala di Era Digital

Pacu Jalur 002

Pacu Jalur sendiri adalah bagian dari budaya masyarakat Kuantan Singingi yang sudah berlangsung ratusan tahun. Lomba ini biasanya digelar dalam rangka perayaan hari besar, dengan perahu-perahu panjang yang dihias dan dikayuh oleh puluhan orang. Anak kecil di ujung perahu bukan sekadar pajangan, tapi punya fungsi penting sebagai motivator dan “pemimpin simbolis”.

Menariknya, meski tradisi ini sangat lokal, gaya dan atmosfernya justru terasa sangat global ketika dipotong menjadi video pendek. Di sinilah kekuatan visual bekerja tanpa perlu penjelasan panjang, satu adegan bisa langsung terhunung ke siapa saja yang menontonnya.

Kita bisa melihat bagaimana satu tradisi daerah bisa menembus batas budaya berkat kekuatan storytelling visual. Dan bukan sembarang storytelling, tapi yang benar-benar natural dan pastinya tanpa skenario, dan disajikan apa adanya. Justru di sanalah letak kekuatannya.

Bukan Lawan Teknologi, Tapi Pelengkapnya

Fenomena aura farming bukan berarti anti-AI atau anti-kemajuan teknologi. Melainkan, ini menjadi sebuah pengingat penting bahwa dunia digital juga butuh ruang untuk hal-hal yang jujur dan manusiawi. Konten-konten buatan AI bisa jadi efisien, tapi gak semua bisa menimbulkan rasa dan koneksi seperti video seorang anak yang berdiri gagah tanpa mengucap satu kata pun.

Kita hidup di era di mana semua orang berlomba-lomba membuat konten yang optimal buat algoritma. Tapi kadang, justru konten yang gak dirancang buat viral malah jadi viral karena emosinya terasa nyata. Itu yang terjadi di sini. Pacu Jalur bukan hanya lomba perahu, tapi bukti bahwa “aura” gak bisa dipalsukan.

Bagi banyak orang, momen ini terasa menyegarkan. Di tengah banjirnya konten hasil editan, filter, dan prompt AI, satu video sederhana dari Riau bisa mengingatkan kita bahwa kejujuran visual itu masih sangat berharga. Dan kadang, itu cukup untuk membuat seluruh dunia berhenti sejenak dan memperhatikan.

“Aura farming” dari Pacu Jalur bukan cuma tren sesaat. Ini jadi simbol kuat bahwa budaya lokal masih bisa bersinar di tengah dunia digital, tanpa harus berubah atau dimodifikasi secara ekstrem. Ketika satu momen sederhana bisa membuat dunia tersenyum, itu berarti kita punya sesuatu yang benar-benar berharga.

Di saat algoritma makin pintar dan konten makin dirancang untuk performa, ada baiknya kita gak lupa: manusia tetap mencari cerita. Cerita terbaik seringkali datang dari tempat yang bisa terbilang tidak terduga, seperti sungai di Riau, dan seorang anak kecil yang berdiri tegap di ujung perahu sambil memancarkan auranya.

Artikel berjudul Melihat Aura Farming Pacu Jalur Sebagai Tradisi Lokal yang Viral di Tengah Dunia Digital yang ditulis oleh Christopher Louis pertama kali tampil di Gizmologi.id

Sekilas Info