Terkuak di Media Sosial Ketahuan Kerja di 4 Startup
Semuanya bermula dari sebuah unggahan di platform X (dulu Twitter) oleh Suhail Doshi, pendiri dan mantan CEO startup Mixpanel. Ia memperingatkan komunitas teknologi agar berhati-hati terhadap Parekh.
“Info layanan masyarakat, ada seorang pria bernama Soham Parekh (di India) yang bekerja di 3-4 startup sekaligus. Dia mengincar perusahaan YC dan lainnya. Waspadalah,” tulis Doshi.

Unggahan ini menyulut reaksi berantai. Sejumlah pendiri startup, termasuk dari Create, Sync Labs, hingga Lindy, mengaku pernah merekrut Parekh dan mengalami hal serupa: Parekh bekerja lambat, sering absen, dan sulit diajak komunikasi.
Bukti dan Tanda-Tanda Mencurigakan
Dhruv Amin, co-founder Create, mengungkapkan Parekh sempat menjadi engineer kelima di perusahaannya. Ia awalnya tampak menjanjikan, mengatakan hal-hal yang menyentuh hati para pendiri seperti, “Saya hanya ingin coding 24 jam sehari.”
Namun kecurigaan mulai muncul ketika Parekh memberi alamat kantor di San Francisco sebagai alamat pengiriman laptop kerja. Ketika diselidiki, ternyata itu adalah kantor startup Sync Labs, tempat Parekh juga bekerja. Ia pun sempat absen dengan alasan sakit, tapi GitHub-nya menunjukkan aktivitas coding larut malam.
“Dia menghabiskan dua hari untuk tugas sederhana. Hampir tak ada tugas yang selesai. Akhirnya kami konfirmasi ke Sync Labs dan mereka bilang dia juga kerja di sana,” ujar Amin.
Setelah dikonfrontasi, Parekh menyangkal dan menyebut orang-orang di Sync Labs hanya teman. Namun, di hari yang sama, video penghargaan karyawan terbaik dari Sync Labs menampilkan wajahnya.
Reaksi Dunia Teknologi

Tak hanya Amin dan Doshi, banyak pendiri startup lain turut membagikan pengalaman serupa. Matthew Parkhurst dari Antimetal mengaku Parekh adalah engineer pertama mereka sebelum akhirnya dipecat karena ketahuan bekerja di tempat lain.
Arkadiy Telegin dari Leaping AI bahkan membagikan foto Parekh bersama para pendiri startup yang merasa tertipu. Dalam wawancaranya di kanal YouTube TBPN, Parekh akhirnya mengakui perbuatannya.
“Saya tidak bangga, tapi ini karena kondisi finansial. Saya rela tidak tidur. Coding adalah satu-satunya hal yang saya lakukan,” ucap Parekh.
Ia juga menepis rumor bahwa dirinya menggunakan bantuan tim kecil atau AI untuk mengerjakan tugas. Menurutnya, semua dilakukan sendiri.
Fenomena Overemployment: Tren atau Masalah?
Apa yang dilakukan Parekh sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat, laporan The Wall Street Journal menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang mengambil lebih dari satu pekerjaan naik dari 5,3% menjadi 5,5%. Pandemi dan model kerja jarak jauh menjadi salah satu pemicu.
Namun, yang dilakukan Parekh berbeda dari sekadar pekerjaan sampingan. Ia mengambil peran penuh waktu di beberapa perusahaan, yang secara kontrak biasanya dilarang.
“Bekerja di dua tempat secara bersamaan, apalagi dalam posisi FTE (Full-Time Equivalent), melanggar kontrak kerja. Tidak ada gaji pertama, dan dia langsung menghilang,” tegas Amin.
Perspektif Hukum dan Etika
Menurut laporan dari The Hindu, moonlighting atau kerja sampingan tidak dilarang secara hukum, tergantung pada kontrak dan kebijakan perusahaan. Tapi persoalan Parekh bukan sekadar moonlighting, melainkan kurangnya keterbukaan dan pelanggaran komitmen terhadap perusahaan.
Seorang karyawan penuh waktu diharapkan mencurahkan dedikasi ke satu perusahaan. Ketika mengambil pekerjaan lain secara diam-diam, kepercayaan perusahaan pun hancur.
Meski begitu, ada juga eksekutif yang duduk di beberapa dewan direksi perusahaan sekaligus, yang dianggap sah karena bersifat strategis, bukan operasional. Artinya, perbedaan mendasarnya adalah pada transparansi dan jenis keterlibatan.
Baca juga: AI Diprogram Deteksi Kebohongan, Apakah Akurat atau Sesat?
Pelajaran untuk Dunia Kerja
Kasus Parekh menjadi pengingat penting bagi dua pihak:
1. Karyawan: Bahwa kejujuran dan transparansi dalam hubungan profesional adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Overemployment diam-diam mungkin menggoda secara finansial, tapi berisiko merusak reputasi dan karier.
2. Perusahaan: Perlu memperketat proses rekrutmen, termasuk verifikasi latar belakang kandidat, mengecek riwayat pekerjaan, dan memonitor kinerja secara lebih teliti terutama dalam sistem kerja jarak jauh.
Soham Parekh memang bukan tokoh kriminal. Tapi tindakannya menyorot satu fenomena penting di era kerja digital: batas antara fleksibilitas dan tanggung jawab semakin tipis. Overemployment, jika dilakukan tanpa keterbukaan, bisa menjadi bumerang.
Di era kerja jarak jauh dan maraknya PHK, banyak orang mencari cara agar tetap punya penghasilan. Tapi seperti kasus Parekh, langkah ekstrem bisa membuat seseorang dikenal bukan karena prestasi, melainkan kontroversi.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(fnf)
