Angka ini bukan hasil tebak-tebakan. Peneliti dari Stanford University, Princeton University, dan beberapa lembaga di Jerman menganalisis lebih dari 15 juta artikel ilmiah dalam database PubMed, salah satu indeks publikasi medis terbesar di dunia.
Gaya Bahasa Ilmiah yang Mulai Lembek?
Temuan yang cukup mencolok bukan hanya kuantitas penggunaan AI, tapi juga pergeseran gaya bahasa dalam artikel-artikel tersebut. Biasanya, tulisan ilmiah identik dengan kalimat kaku, istilah teknis, dan padat kata benda. Namun, sejak AI generatif seperti ChatGPT mulai digunakan luas, gaya penulisan mengalami perubahan signifikan.
“Gaya bahasa yang dulunya kaku kini jadi lebih ekspresif, bahkan emosional. Ini sinyal kuat bahwa LLM (large language model) seperti ChatGPT mulai membentuk wajah baru publikasi ilmiah,” kata Ethan Fast, peneliti utama dari Stanford.
Sebelum 2024, sekitar 79 persen kata tambahan dalam abstrak jurnal medis adalah kata benda. Tapi di tahun 2024, angka itu turun drastis menjadi 34 persen. Sisanya digantikan oleh kata kerja dan kata sifat, yang notabene menjadi ciri khas gaya penulisan model AI seperti ChatGPT.
Bukan Sekadar Deteksi Metadata
Yang menarik, studi ini tidak mengandalkan metadata atau label AI dalam mendeteksi jejak AI di jurnal medis. Alih-alih, peneliti menggunakan analisis statistik linguistik, melacak anomali dalam struktur kalimat dan penggunaan kata. Mereka tidak menunjuk kalimat mana yang ditulis AI, tapi melihat pola keseluruhan.

“Kami tak mencoba menebak mana yang ditulis manusia, mana oleh mesin. Itu bias. Tapi dengan mengukur perubahan gaya secara makro, kita bisa melihat pengaruh AI,” ujar Arvind Narayanan, profesor di Princeton University.
Baca juga: Bos Microsoft Sarankan Korban PHK Atasi Depresi dengan Bantuan ChatGPT
Selain gaya bahasa, penelitian ini juga menemukan bahwa penggunaan AI tidak merata di seluruh dunia. Beberapa negara dan disiplin ilmu menunjukkan adopsi AI yang lebih tinggi, tergantung dari kebijakan, budaya akademik, dan infrastruktur digital masing-masing wilayah.
Ada jurnal yang mulai mewajibkan deklarasi penggunaan AI dalam proses penulisan, namun banyak pula yang belum menyentuh isu ini secara serius. Padahal, transparansi sangat penting untuk menjaga integritas ilmiah.
Risiko dan Regulasi yang Belum Matang
Tim peneliti menegaskan bahwa mereka tidak menganggap penggunaan AI sebagai hal yang salah. Justru, dalam beberapa kasus, AI bisa menjadi alat bantu yang luar biasa bagi penulis, terutama peneliti non-native speaker yang mungkin kesulitan merangkai kalimat formal.
Namun, tanpa regulasi dan sistem pendeteksi yang baik, tren ini bisa mengaburkan batas antara penulisan manusia dan mesin. “Kalau tidak diawasi, kita bisa kehilangan kualitas dan kredibilitas dalam publikasi ilmiah,” tulis para peneliti.
Mereka menyarankan agar jurnal mulai membuat aturan baku, misalnya mewajibkan pengungkapan penggunaan AI dalam proses penulisan atau penyuntingan. Edukasi kepada peneliti juga perlu dilakukan agar mereka memahami potensi dan risiko AI dalam dunia akademik.
AI dan Lonjakan Konten di Internet
Fenomena penggunaan AI tak hanya terjadi di dunia jurnal medis. Laporan terpisah dari perusahaan Copyleaks mencatat bahwa sejak peluncuran ChatGPT pada November 2022, konten berbasis AI di internet melonjak lebih dari 8.000 persen hingga Maret 2024.
CEO Copyleaks, Alon Yamin, menyebut lonjakan ini sebagai hasil dari kemajuan pesat teknologi NLP (natural language processing) dan permintaan industri terhadap konten yang cepat, murah, dan bisa diandalkan.
Namun, dia juga mengingatkan bahwa semakin banyak konten AI di internet berarti makin tinggi risiko informasi palsu atau menyesatkan. “Kita butuh sistem tata kelola yang baik agar AI tidak menciptakan dunia informasi yang kabur dan penuh manipulasi,” ujar Yamin.
Baca juga: Daftar Tim Megabintang AI Bentukan Zuckerberg, Gebrakan Lawan ChatGPT
AI di Dunia Akademik, Tren yang Tak Terhindarkan
Terlepas dari kontroversi, tampaknya AI akan terus menjadi bagian dari dunia akademik, termasuk dalam penulisan jurnal ilmiah. Tantangan yang tersisa adalah bagaimana mengaturnya dengan adil, etis, dan transparan.
Dalam era di mana kecepatan dan efisiensi menjadi nilai jual utama, penggunaan AI seperti ChatGPT dalam kepenulisan mungkin tak bisa dihindari. Namun, dunia akademik harus tetap memegang teguh prinsip kredibilitas, keaslian, dan tanggung jawab ilmiah.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
