Teknologi.id – Prediksi Accenture dalam laporan 2024 Technology Vision mulai terbukti: 60% konten digital akan dihasilkan oleh AI dalam lima tahun ke depan. Salah satu buktinya adalah peluncuran Google Flow di Indonesia. Platform canggih berbasis kecerdasan buatan ini bukan hanya menerjemahkan teks menjadi gambar, melainkan menghasilkan video sinematik lengkap—mulai dari alur cerita, sudut kamera, hingga musik latar.
Kehadiran Google Flow menjadi momentum penting bagi kreator konten dan pelaku industri kreatif di Indonesia. Lebih dari sekadar alat bantu, platform ini membuka era baru kolaborasi antara manusia dan AI dalam proses produksi konten.
Baca juga: Android Canary Channel Resmi Dirilis: Akses Fitur Terbaru Android Sebelum Beta!
Lebih dari Sekadar Alat, Flow Jadi Mitra Kreatif
Mengutip rilis resmi Google yang dilansir Kompas Tekno, Flow dirancang untuk memahami konteks emosional dan visual dari input teks. Misalnya, deskripsi seperti “senja di Pantai Kuta dengan deburan ombak dan langit jingga” akan diubah menjadi video lengkap dengan grading warna hangat, slow-motion ombak, dan angle drone mengikuti matahari terbenam.

Teknologi ini menggabungkan large language model (LLM) dan generative adversarial networks (GANs)—dua pilar AI yang juga digunakan oleh ChatGPT dan MidJourney. Yang membedakan Flow adalah kemampuannya dalam menciptakan narasi visual yang konsisten dari awal hingga akhir.
Menurut Dr. Maya Sari, pakar AI dari Universitas Indonesia, kemampuan ini didukung oleh database transisi adegan yang dipelajari dari ribuan film Hollywood dan sinema Asia.
Dampak Google Flow bagi Industri Kreatif Indonesia
Bagi pelaku industri kreatif, Flow menjadi solusi efisiensi yang signifikan. Salah satu pemilik agensi digital marketing di Jakarta menyatakan bahwa timnya berhasil memangkas biaya produksi video iklan hingga 70%. “Naskah langsung jadi storyboard. Kami hanya perlu menyempurnakan logo dan voice-over,” ungkapnya.
Namun, kehadiran AI tidak serta-merta menggantikan peran manusia. Justru, kualitas video sangat tergantung pada kemampuan merangkai prompt secara tepat. Semakin detail input yang diberikan, semakin memukau hasil akhir yang dihasilkan Flow.
Tantangan Etika dan Hukum dalam Penggunaan AI
Di balik kemudahan ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana dengan hak cipta atas musik, visual, atau gaya yang dihasilkan AI? Apakah YouTube akan membatasi monetisasi video berbasis AI?
Google mengklaim telah menerapkan watermark digital dan sistem atribusi otomatis. Namun menurut Prof. Arif Wijaya, ahli hukum siber UGM, UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 belum mengatur kepemilikan karya yang dihasilkan oleh AI. Pertanyaan seperti “siapa pemilik sah konten Flow?” masih belum terjawab secara hukum.
Akankah AI Menggeser Sutradara?
Data dari Meta menunjukkan bahwa video berbasis AI memiliki engagement 40% lebih tinggi dibandingkan konten konvensional. Tapi ini bukan berarti profesi seperti sutradara akan tergantikan. Garin Nugroho, sutradara senior Indonesia, menekankan bahwa AI hanya bisa meniru teknik, bukan jiwa cerita. “Konteks budaya dan pengalaman manusia tetap tak tergantikan,” katanya.
Adaptasi Profesi Kreatif: Tantangan atau Peluang?
Flow tidak menggantikan kreator, tapi mengubah cara mereka bekerja. Desainer grafis, penulis naskah, hingga editor video kini dapat lebih fokus pada konsep kreatif, bukan lagi proses teknis repetitif.
Menurut riset Boston Consulting Group, 58% profesional kreatif di Asia Tenggara mengalami peningkatan produktivitas berkat AI. Bahkan muncul profesi baru seperti AI content strategist, yaitu ahli dalam merancang teks prompt agar hasil videonya optimal.
Kursus-kursus bertema “cara komunikasi dengan AI” pun mulai bermunculan di berbagai platform belajar online—tanda bahwa industri ini tengah berubah, bukan hilang.
Baca juga: Google Bakal Gabungkan ChromeOS dan Android, Ini Dampaknya!
Kesimpulan: AI adalah Kuas Baru, Bukan Penghapus Kreativitas
Peluncuran Google Flow di Indonesia bukanlah ancaman, melainkan undangan untuk bereksperimen. Seperti halnya kehadiran mesin cetak dan internet, AI tidak menghapus peran manusia, melainkan memaksa kita untuk beradaptasi.
Bagi kreator yang mampu memadukan kreativitas dengan efisiensi teknologi, masa depan produksi konten terbuka lebar. Pertanyaannya: apakah Anda siap menjadikan AI sebagai mitra, atau hanya akan jadi penonton dalam gelombang perubahan ini?
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)
